Faktor Sukses Elizabeth Lutters Seorang Penulis Skenario

APA BEKAL DASAR PENULIS SKENARIO?


DUKUNGAN DARI DIRI SENDIRI

Dukungan dari diri sendiri adalah hal-hal yang perlu ditumbuhkan dari dalam diri kita sendiri. Hal ini tidak bisa dipaksakan atau pun dilakukan oleh orang lain karena yang berhak menentukan adalah diri kita sendiri.

MINAT
Hal utama yang perlu ditumbuhkan adalah minat dari dalam diri kita sendiri untuk mewujudkan tekad menjadi seorang penulis skenario. Mungkin pada awalnya, menjadi penulis skenario bukanlah cita-cita dalam hidup kita. Namun, sebenarnya profesi sebagai penulis skenario merupakan alternatif pekerjaan yang cukup menjanjikan, termasuk dari sisi finansial sehingga minat untuk menjadi penulis skenario bisa dibangkitkan.
Elizabeth Lutters ingin membagikan sedikit pengalaman, yang pada awalnya Elizabeth Lutters tak pernah bercita-cita menjadi penulis skenario. Elizabeth Lutters sutradara teater yang aktif, pernah 2 tahun kuliah di IKJ dengan mayor penyutradaraan, berkarya di Surabaya dengan bendera TEATER PAVITA sejak 1987, dan dua kali mendapat penghargaan sebagai Sutradara Terbaik di Jawa Timur sehingga setelah menetap di Tangerang, Elizabeth Lutters bercita-cita menjadi seorang sutradara sinetron/film.

Sewaktu masih di Surabaya, Elizabeth Lutters pernah menulis sejumlah skenario maka ketika pindah ke Tangerang, Elizabeth Lutters mencoba menyodorkan sebuah skenario sinetron pada seorang produser, dengan harapan Elizabeth Lutters yang akan menyutradarai skenario tersebut. Ternyata produser tertarik dengan tulisan Elizabeth Lutters dan menyuruh Elizabeth Lutters mengadaptasi skenario cerita lain sebanyak 20 episode. Elizabeth Lutters terima tawaran tersebut karena Elizabeth Lutters anggap ini dapat jadi batu loncatan bagi Elizabeth Lutters untuk bisa menjadi sutradara sinetron.

Berbagai kendala pribadi Elizabeth Lutters rasakan, tetapi yang tersulit adalah sebagai ibu tiga anak. Elizabeth Lutters merasa berat harus berpisah dengan anak-anak yang saat itu usia mereka masih di bawah 10 tahun, dari subuh hingga tengah malam, setiap hari, sepanjang syuting sinetron berlangsung. Kondisi ini sungguh berbeda saat Elizabeth Lutters menjadi sutradara teater, Elizabeth Lutters independen dan bisa mengajak putra-putrinya ikut dalam latihan teater yang dia sutradarai. Akhirnya, Elizabeth Lutters menyerah. Elizabeth Lutters hanya sanggup menjadi sutradara sinetron untuk 8 episode saja.

Produser yang terkesan pada skenario Elizabeth Lutters lalu memberinya pekerjaan sebagai penulis skenario untuk cerita lain. Sejak tulisan Elizabeth Lutters ditayangkan di televisi swasta, mulailah berdatangan tawaran menulis skenario dari sejumlah rumah produksi (PH).

Cerita di atas sekadar contoh bahwa cita-cita Elizabeth Lutters ternyata dapat dikesampingkan begitu saja, setelah mendapat kesempatan menulis skenario. Elizabeth Lutters pun semakin terpacu untuk menumbuh-kembangkan minatnya karena pekerjaan sebagai penulis skenario terbukti sangat menguntungkan baginya dalam posisi sebagai ibu rumah tangga yang tak mungkin bekerja jauh dari anak-anak. Kini Elizabeth Lutters dapat bekerja dengan tenang, sambil tetap mengawasi dan bergaul dengan ketiga anaknya yang semuanya telah berusia remaja. 

Namun, untuk mencapai hasil pekerjaan sebagai penulis skenario secara maksimal, tentunya yang paling utama perlu kita bangk'rtkan adalah minat untuk mencintai profesi ini dan bertekad kuat berjuang demi men¬capai tujuan sebagai penulis skenario yang profesional dan berkualitas.

BAKAT
Untuk menjadi penulis skenario yang profesional, secara idealnya dibutuhkan bakat dalam bidang tulis-menulis. Bakat bisa karena punya garis keturunan dari seorang penulis, dapat pula berupa bakat alam yang diperoleh bukan karena faktor keturunan. Jika kita telah memiliki modal bakat, kita tinggal mempelajari teori penulisan maka tujuan menjadi seorang penulis skenario dapat terwujud dalam bahasa bombastisnya semudah 'membalik telapak tangan.

Lalu, bagaimana jika kita tidak memiliki bakat dalam bidang tulis-menulis? Atau, kita tidak yakin ada-tidaknya bakat dalam diri kita? Jangan putus asa karena, seperti kata Arswendo Atmowiloto, sebenar-nya "mengarang itu gampang". Bahkan hampir semua penulis berpen-dapat demikian. Helvy Tiana Rosa dalam pengantarnya di buku Berguru kepada Sastrawan Dunia berpikir sama, dan ia pun menyinggung nama Gola Gong yang juga menguatkan hal itu dalam bukunya Menulis Skenario Itu Lebih Gampang. Nah, kan...?

Jadi, keterampilan mengarang itu sendiri sebenarnya bisa di-pelajari oleh siapa saja, meskipun hasil dan kualitas masing-masing orang pasti berbeda, sesuai talenta yang diberikan oleh Tuhan ke-padanya. Kualitas tulisan seseorang tentunya tak lepas dari pe-ngalaman masa lalunya dalam kegiatan tulis-menulis. Hasil lebih baik tentunya akan tercipta dari orang-orang yang tekun dan setia, yang sejak usia dini telah melakukan kegiatan tulis-menulis, meski yang ditulis hanyalah kisah pribadi atau sekadar berkorespondensi.

Pada usia SD atau SLTP, seorang anak semestinya sudah di-biasakan mengasah keterampilan menulis dengan membuat tulisan dalam buku hananl diary, yang berisi pengalaman pribadi sehari-hari sehingga kelak dewasa dia sudah terbiasa dengan membuat tulisan-tulisan, bukan lagi tentang dirinya sendiri, melainkan mulai bisa menulis sesuatu tentang orang lain dan hal-hal di luar dirinya. Mengasah ke¬terampilan menulis juga dapat dilakukan dengan kebiasaan melakukan koresponden dengan teman-teman atau kenalan-kenalan baru, yang biasa disebut sahabat pena.
Elizabeth Lutters sama sekali tidak mewarisi bakat turunan dari orang tua atau kakek-nenek dalam bidang menulis karena ayahnya penyanyi dan pemain gitar, sementara ibunya pemain piano. Dia pun merasa tidak memiliki bakat alam dalam bidang tulis-menulis. Namun, yang dia miliki hanyalah sedikit bekal masa kecil, saat dia masih duduk di bangku SMR Elizabeth Lutters sering berkorespondensi dengan sahabat pena dari luar pulau, selama beberapa tahun kami hanya bersurat-suratan, tanpa pernah satu kali pun bertemu. Pengalaman berkorespondensi inilah yang dia yakin telah membantunya sekarang menjadi seorang penulis skenario.

Kebiasaan menulis di buku harian juga sudah Elizabeth lakukan sejak duduk di bangku SMR Kebetulan, dia adalah seorang anak yang introvert sehingga buku harian menjadi sahabat paling setia. Dia curahkan padanya apa saja yang dirasakan. Bertahun-tahun Elizabeth Lutters rajin menulisi buku harian. Namun sejak kuliah, tulisannya mulai meluas ke hal-hal yang lebih bersifat umum. Semakin meningkat kesibukannya, kegiatan menulis tentang hal-hal pribadi mulai menurun, dan kebutuhan buku harian berubah fungsi menjadi buku yang memuat kegiatan dan hal-hal penting yang berkaitan dengan urusan pekerjaan. Sementara, kegiatan menulis kisah-kisah hidup Elizabeth Lutters, mulai dia susupkan ke dalam tulisan skenario yang dikerjakan.

Postingan Populer