Sebagai penulis skenario Perlu Motivasi dan Disiplin

MOTIVASI

Sebagai penulis skenario, kita perlu mempunyai motivasi yang kuat. Motivasi dalam arti: Apa tujuan kita menjadi penulis skenario? Masing-masing orang bisa memiliki motivasi yang berbeda-beda, namun dengan berbekal motivasi yang kuat, kita pasti akan berjuang lebih keras dan pantang menyerah menjalani apa yang sedang kita kerjakan.

Motivasi sangat beragam. Ada yang sekadar ingin mencari kesibukan karena jenuh di rumah karena semua sudah tersedia dan terlayani; ada pula motivasi yang bersifat finansial, ini adalah motivasi yang sangat umum dan lumrah. Biasanya, jika kebutuhan makin mendesak justru akan semakin memperkuat motivasi, misalnya kita akan semakin giat menghubungi production house (PH) atau berkomunikasi dengan produser untuk mendapatkan order menulis skenario.
Motivasi yang lain yaitu motivasi kebutuhan eksistensi diri, lebih disebabkan oleh perasaan kurang dilihat dan kurang dihargai orang, hasil kerja sering dilecehkan atau disepelekan orang. Dengan menjadi penulis skenario maka kita boleh berharap hasil karya kita akan di-pandang dan dihargai banyak orang. Ada pula motivasi yang me-nyangkut kebutuhan pengalaman hidup, yaitu dengan menjadi penulis skenario berharap mendapat banyak pengalaman baru. Hal ini bisa terjadi saat kita harus membuat cerita-cerita di luar bidang yang kita kuasai, yang menuntut kita untuk mempelajari bidang tersebut. Sebagai contoh, setiap kali membuat skenario, Elizabeth Lutters selalu mencari referensi untuk hal-hal yang akan dia tulis. Elizabeth Lutters tidak bisa asal-asalan mengatakan tanaman tapak dara, daun dewa, mengkudu, sambiloto, atau lainnya bisa menyembuhkan kanker, jika dia tidak membaca buku dan bicara dengan orang yang mengerti tentang itu. Oleh karena itu, semakin banyak skenario yang dia tulis, semakin giat mencari hal-hal yang dia tidak tahu sebelumnya.

Di samping itu, ada pula motivasi yang berangkat dari keinginan untuk mencurahkan apa yang ada pada diri kita sebagai ide cerita dalam skenario. Mungkin kita punya banyak pengalaman atau banyak melihat dan mendengar pengalaman orang lain, namun tidak ada tempat penyaluran sehingga jalan terbaik adalah menuangkannya lewat skenario. Bisa saja kita merasa prihatin saat melihat para pengemis anak-anak di jalan raya, tapi kita tidak dapat berbuat apa-apa. Maka, lewat sebuah skenario, kita bisa menyalurkan keprihatinan itu sekaligus memberikan solusi untuk mengatasi dan memperlakukan anak-anak telantar itu.

Motivasi menulis skenario bisa juga sebagai batu loncatan untuk tujuan mendapatkan pekerjaan yang lain. Sama halnya ketika Elizabeth Lutters menyodorkan skenario kepada produser di Jakarta, motivasinya ingin menjadi sutradara dari tulisan tersebut. Namun, meski yang ia tuju adalah hal lain, dia tetap mengerjakan skenario dengan sungguh-sungguh agar menghasilkan karya yang baik sehingga setidaknya produser akan melihat cara kerja Elizabeth Lutters. Motivasi seperti ini bisa saja terjadi, tapi Elizabeth Lutters yakin jika Anda mengalaminya, Anda justru akan terpikat menjadi penulis skenario dan melupakan cita-cita Anda sebelumnya seperti Elizabeth Lutters!
Jadi, motivasi kita bisa beragam, sepanjang itu dapat memacu semangat kerja menuju hasil yang positif dan kreatif. Semakin banyak motivasi yang ingin kita capai, semakin besar dorongan kita untuk mengerjakan pekerjaan kita dengan sebaik-baiknya. Tanamkanlah motivasi sebanyak mungkin, agar daya juang kita semakin maksimal dalam mencapai apa yang kita cita-citakan.

DISIPLIN
Sebagai penulis skenario, kita perlu menanamkan sikap disiplin terhadap beberapa hal yang berkaitan dengan urusan pekerjaan. Dalam disiplin waktu kerja, terkadang seorang penulis tidak ingin dibatasi waktu bekerjanya, sebab dirinya bisa bekerja sampai larut malam bahkan sampai pagi, hanya karena ingin mencari ketenangan atau sedang mendapat inspirasi. Namun, hal ini akan mengganggu dan menyiksa diri sendiri jika kita tidak disiplin dalam menentukan waktu kerja.

Charles Robert Darwin, ahli biologi Inggris pernah mengatakan: "A man who dares to waste one hour of time has not discovered the value of life", orang yang berani menyia-nyiakan waktu 1 jam, belum menemukan nilai hidup. Meski demikian, penulis skenario yang biasa bekerja tanpa waktu, juga akan mengalami kesulitan dalam membagi waktunya untuk hal lain di luar pekerjaannya. Pada saat asyik bekerja, misalnya, bisa saja kita jadi lupa untuk antar/jemput anak sekolah, memasak, mengajari anak, membersihkan rumah, mengurus tanaman, dll. Kecuali jika semua pekerjaan sudah ada yang menangani, kita bisa saja mencurahkan waktu sepenuhnya untuk bekerja tanpa ada yang membatasi. Tapi, mana ada orang sebebas itu?

Penulis skenario sebaiknya sudah membuat konsep tentang apa yang akan dikerjakan. Jika semuanya sudah terkonsep, segalanya tak akan berantakan. The Liang Gie dalam bukunya Terampil MengarangmenuWskan, Norah Lofts, pengarang roman sejarah, mulai bekerja pada pukul 09.00 dan berhenti pukul 13.00, lalu mulai lagi pukul 16.30 hingga pukul 19.30 dilakukan setiap hari. Pengarang lain, Taylor Caldwell, mulai bekerja tengah malam hingga subuh dan tidur setelah hari terang. Lain pula dengan Sol Stein, ia menulis dari pukul 07.00 hingga pukul 09.00, lalu berangkat ke kantor.

Dia secara pribadi terus terang masih belum bisa mengatur waktu dengan pasti sehingga Elizabeth Lutters lebih memilih membiarkan laptopnya terbuka mulai pukul 11.00 (setelah pekerjaan rumah tangga beres) hingga pukul 01.00, nonstop, setiap hari. Apa yang akan dia kerjakan hari ini sudah dikonsep terlebih dahulu. Meski laptopnya terbuka dari pukul 11.00 hingga pukul 01.00, bukan berarti sepanjang 14 jam itu Elizabeth Lutters duduk terus-menerus di depan laptop. Di sela-sela jam itu kadang-kadang dia masih bisa membaca atau bercanda ria dengan keluarga. Jika tiba-tiba Elizabeth Lutters mendapatkan ide, dia bisa langsung lari ke laptop untuk mengetiknya.

Pada 1999 Elizabeth Lutters pernah bekerja dengan jam kerja yang gila-gilaan karena menerima tantangan produser, 1 episode durasi 60 menit selesai dalam 1-2 hari, atau dalam satu minggu setor 5 episode, dari dua judul. Elizabeth Lutters kerja penuh dari siang hingga pagi, istirahat hanya pada jam-jam makan, dan baru tidur pagi setelah anak-anak berangkat sekolah. Bangun siang, makan, dan mulai bekerja lagi. Kondisi seperti ini cukup setahun saja Elizabeth Lutters jalani sebab dia tidak mau memaksakan diri lagi.
Selain waktu kerja, disiplin yang juga harus kita tanamkan adalah dalam hal menyetorkan skenario. Alasan ini pula yang membuat Elizabeth Lutters rela menyiksa diri sendiri dalam bekerja agar tidak terlambat menyetor. Orang yang dipegang adalah janjinya, jika kita telah sanggup menyelesaikan skenario dalam waktu sekian hari maka kita harus menepatinya. Janji adalah utang dan secara pribadi sangat berhati-hati dalam hal ini. Jangan sampai kepercayaan produser luntur hanya karena kita tidak disiplin dalam menyetor pesanan.


Saya pribadi merasa cukup longgar jika harus setor 1 episode durasi 60 menit dalam waktu tiga hari. Jadi, dalam satu minggu setor 2 episode saja. Akan tetapi, untuk jenis FTV durasi 90 menit saya minta waktu satu minggu satu judul karena tingkat kesulitannya lebih besar, yaitu cerita FTV harus kental dan utuh. Itu waktu yang wajar baginya, jika bekerja sendiri, tanpa asisten/sekretaris.

Jika Anda masih pemula, sebaiknya Anda jangan terburu-buru menerima order 1 episode dalam 2-3 hari. Atau, jika Anda sudah profesional tapi pekerjaan Anda yang lain banyak menyita waktu, Anda juga harus memperhitungkannya. Jika kita memang sibuk, lebih baik dari awal kita minta waktu agak longgar, daripada mengaku sanggup tapi tidak kesampaian.

Postingan Populer