Lebih dari sekadar lucu-lucuan dan hiburan, pantomim adalah medium untuk menyerukan isu-isu di tengah masyarakat
Wanggi tahu persis, pantomim itu seni bahasa tubuh yang universal. Ada pesan yang tersembunyi dari tiap gerak dalam kecepatan dan tempo tertentu; lebih dari sekadar lucu-lucuan dan hiburan. Bahasa ini dijadikannya medium untuk menyampaikan isu-isu yang tenggelam dari perhatian masyarakat.
Seorang laki-laki duduk di depan Gedung Sate, K.J Bandung. Wajahnya dicat putih, kepalanya berhias kain ikat Baduy. Ia bangkit pelan-pelan dari duduknya. Perlahan ia mulai berpantomim, bergerak sambil memeluk badannya, seolah seluruh badannya kesakitan. Di benaknya, ia tengah menyampaikan pada orang-orang yang lalu-lalang di depannya, bagaimana gedung di belakangnya ini tengah menua dan diam-diam hancur.
Beberapa orang mulai menghampirinya dan duduk sambil menonton.
Beberapa lagi berdiri sambil memperhatikan. Saat pertunjukan pantomimnya usai, beberapa orang bertepuk tangan, ada pula yang masih melipat tangan. Tapi satu remaja laki-laki bertanya sambil mendekatinya, "Kang, yang tadi itu apa? Enggak jelas."
Wanggi Hoediyatno, pria ber-wajah dicat itu, balas bertanya. "Kalau enggak jelas, kenapa kamu nonton?"
"Soalnya menarik," sahut si anak.
Wanggi tersenyum dalam hati, sambil menjelaskan gagasan pantomimnya.
"Gedung ini bersejarah. Kamu tahu sejarahnya bagaimana? Kamu mau nanti gedung ini hancur, lalu anak-anak kamu kelak tidak bisa lagi melihatnya?" tanya Wanggi. Anak itu menggeleng.
"Sama, saya juga tidak. Karena itu ayo kita pelajari sejarahnya. Setidaknya, dengan kamu tahu se-jarahnya, kamu jadi akan lebih pe-duli untuk menjaganya. Sehingga kalau nanti gedung ini akan diro-bohkan dan diganti jadi minimarket, kamu bisa melawan," jelas Wanggi.
Begitulah pria asal Desa Paliman, Cirebon, 24 Mei 1988 ini memaknai pantomimnya. Baginya, pantomim adalah seni bahasa tubuh yang sunyi, tapi universal. Ketiadaan kata-kata dalam tiap gerak tubuh yang diatur dalam tempo dan kecepatan tertentu itu menyimpan sarat pesan. Ada beragam isu di tengah masyarakat yang bisa dibahas lewat pantomim, mulai dari sosial, politik, hingga lingkungan.
Wanggi memegang dasar ini dalam aktivitasnyaberkesenian, sebagaimana maestro pantomim idolanya, Marcel Marceau membahas isu sosial dan HAM di tiap pertunjukan. Betul-betul tak seperti yang ditayangkan di televisi, ketika pantomim muncul sebatas komedi dan hiburan. Karena itu bagi Wanggi, pantomim adalah medium yang tepat untuk menjadi bahasa perlawanan.
Tak ada yang berhenti
Perlawanan ini digiatkannya bertahun-tahun yang lalu. Tepat-nya pada 2009, ketika ia baru saja ditinggalkan teman-teman sekomunitasnya di pantomim Imajimime untuk mencari pekerjaan lain di Jakarta dan berkarya solo.
Kala itu, pertanyaan-pertanyaan "Itu apa Kang? Enggak jelas," belum terlontar dari mulut penonton aksi pantomimnya. Orang-orangyang melewatinya bahkan tak berhenti. Mata mereka sekilas menoleh, namun sejurus kemudian kembali fokus ke jalanan seraya pergi.
Akan tetapi Wanggi tak putus asa. Dilanjutkannya pertunjukan pantomim itu hingga hari mulai gelap. Sebelum berjalan ke depan Gedung Sate, ia sudah mantap untuk berpantomim sambil diiringi permainan terompet temannya. Ini satu-satunya jalan yang bisa ia tempuh saat itu agar ia tak ikut berhenti berpantomim seperti teman-teman sekomunitasnya.
Ya, awalnya ia tak sendiri. Ada Rahmat Kusnadi, Mumu Mukri, dan Atta, senior-seniornya di kampus Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung. Kala itu Wanggi masih berkutat dengan Teater Cassanova, kelompok teater kampusnya. Melihat aksi Wanggi yang lincah di pentas teater, Rahmat kemudian menawarinya untuk ikut komunitas pantomim yang didirikannya, Imajimime. Kebetulan saat itu Rahmat baru saja mendapat hibah dari Kementerian Pendidikan, dan butuh orang untuk menggarap dana hibah ini.
Mulailah petualangan Wanggi di pantomim. Ia yang berangkat dari Jurusan Teater belum banyak ilmu soal pantomim, terlebih memang tak ada jurusan pantomim di kampus-kampus seni Indonesia. Kehadiran seniornya dan proyek hibah itu cukup membantu bagi perkembangan ilmu pantomim Wanggi saat itu, sambil dirinya belajar autodidak dari internet dan buku-buku. Garapan dana hibah itu kemudian berbuah menjadi pertunjukan Sang Guru dan Buku Pintar, yang sukses dipentaskan di Pusat Kebudayaan Prancis di Bandung.
Dari pentas bersama mereka, Imajimime makin sering ber-pertunjukan. Namun masing-masing anggota akhirnya memilih jalan sendiri. Itulah mula kegeli-sahan Wanggi. "Saya merasa belum banyak ilmu pantomim, enggak banyak ilmu tentang sejarahnya, enggak ngerti gimana nyari uang-nya. Tapi saya tahu gerak-geraknya. Saya tahu saya suka keseniannya," ujar Wanggi.
Berbekal rasa ingin melanjutkan geliat di pantomim, ia pun melang-kahkan kaki setiap akhir pekan ke jalanan di depan Gedung Sate. Terkadang bersama temannya sang peniup terompet, kadang dengan yang lain. Setiap akan "pentas" di sana, tak lupa Wanggi mengabarkan via Facebook, yang kelakberkembangvia Twitter dan juga Story Instagram. "Setidaknya saya usaha. Mau siapa pun datang, bagaimana nanti saja," kata Wanggi.
Tidak ada yang datang, untuk beberapa lama. Sampai suatu ketika, temannya yang seorang wartawan datang menonton.
"Wanggi, ini pertunjukan yang bagus. Inibakal jadi sesuatu. Apa namanya?" tanya sang teman seusai menonton.
Apa namanya? Wanggi juga tidak tahu apa nama pertunjukannya. Sebentar kemudian ia terpikir judul "Nyusur History Bandung." Menurutnya saat itu, ia bisa menyusuri sejarah Bandung lewat gedung-gedung tua tempatnya berpertunjukan, dimulai dari Gedung Sate.
"Jangan. Jangan jadi kurung batok," kata teman jurnalisnya. Temannyaberpikir, jangan sampai Wanggi hanya bermain di Bandung saja, ia perlu menyampaikannya ke kota-kota lain. Toh kota-kota lain juga memiliki kisah sendiri, dan gedung-gedung bersejarahnya.
Ide yang bagus, pikir Wanggi. Ia pun mulai riset dan memetakan rencana, kota dan titik mana saja yang akan disusurinya dan dijadikan tempat berpantomim.
Butuh beberapa bulan baginya untuk memberanikan diri ber-pantomim di kota lain. "Yang
bakal dipertaruhkan adalah wa-wasan dan publik tiap kota," kata Wanggi. Ia pun menyiapkan diri dengan literatur dan olah gerak pantomimnya. Ia tak mau penonton pantomimnya nanti kecewa jika pengetahuan tentang pantomimnya minim dan pertunjukannya jelek.
Identitas pantomim timur
Sambil menyiapkan ilmu dan gerak tubuh, Wanggi pun membe-kali identitas baru pada tampilan-nya berpantomim. Baju belang-belang khas aktor pantomim dunia digantinya dengan pakaian tradisional Baduy, lengkap dengan ikat kepalanya. Pakaian ini bagi-nya menjadi lambang identitas yang disandangnya: aktor pantomim dari timur.
"Ketika maestro pantomim dunia Marcel Marceau memakai baju belang-belang, ia merepresentasikan pakaian korban holocaust. Ia sendiri adalah salah satu korban, yang menyaksikan orangtuanya meninggal karena kekejaman Nazi. Karena itulah Marcel dan pelaku pantomim di Jerman, Prancis, dan sejumlah negara di Eropa mengenakan pakaian belang-belang. Itubagian dari sejarah mereka. Namun saya, sebagai orang Indonesia, punya sejarah sendiri," kata Wanggi.
Bagi Wanggi, kehidupan warga Baduy yang akrab, tanahnya yang lestari, dan kehidupan agrarisnya yang masih terjaga, patut diperkenalkan lewat identitas pantomimnya. Maka dikenakannyalah setelan putih-putih Baduy itu, sambil turut mengecat putih wajahnya khas aktor pantomim sedunia. "Jikabaju belang-belang merujuk sejarah
spesifik, cat putih pada wajah aktor pantomim merepresentasikan kesakralan seni ini. Layaknya maestro tari topeng yang setia dengan topengnya," jelas Wanggi.
Backpacker pantomim
Rampung dengan persiapannya, berangkatlah Wanggi dari kota ke kota pada 2011. Tak lupa ia meminta izin pendahulunya di Imajimime untuk meneruskan geliat komunitasnya lewat program nyusur-nya. Setelah mengantongi izin para senior, perjalanan ke Jakarta, Jogja, Solo, dan Bali pun dijalani. Tak lupa ia mengabari di media sosial, titik bersejarah dan gedung tua mana saja yang akan ia sambangi.
Sebagaimana nama program-nya, Backpacker Nyasar-Nyusur History Indonesia, perjalanan dilakukannya dengan mengantongi modal terbatas. Saat itu Wanggi hanya memegang uang Rp500 ribu. "Tapi selalu ada orang baik di j alan," ujarnya.
Salah satu orang baik itu dijum-painya di Solo. Kala itu ia baru saja pergi dari depan Keraton Solo, setelah menunggu seseorang dari siang sampai sore di bawah pohon beringin. Orang yang ditunggunya adalah salah satu keluarga keraton, yang mengundangnya via Facebook untuk berpantomim di sana. Tapi orang itu tak kunjung datang menghampirinya, dan penjaga keraton mengabari mungkin pantomimnya tak jadi karena hari itu ada kirab kebo bule di jalan-jalan; keluarga keraton mungkin turut datang merayakan.
Wanggi pun pergi dari sana, mengarah ke pasar. Di tengah istirahatnya, ia bertemu mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Sura-karta yang kemudian menawari-nya menginap di sekretariat komunitas kampus. "Nanti ada kebo bule. Jalanan ramai. Ikut saja (berpantomim)," saran teman barunya itu.
Di lain waktu, ia bertemu aktris Ayu Laksmi di Bali. Saat tahu Wanggi dan teman-temannya tengah tur, tak lupa Ayu memberi-nya ongkos untuk tambahan di perjalanan. "Padahal kami sudah mau pulang ke Bandung karena kehabisan uang, tinggal uang ongkos pulang," kenang Wanggi. Tapi memang tak selamanya perjalanan mereka manis. Ketika uang di kantong benar-benar habis, ia kembali ke Bandung, lalu melanjutkan tur ketika uang ongkos sudah terkumpul lagi.
Lewat program Backpacker Nyasar-Nyusur History Indonesia ini pula ia memecahkan rekor aksi pantomim di puncak Mahameru, 3.676 mdpl. Dari atas gunung, ia menampilkan pertunjukan tentang dirinya dan orang-orang yang mendaki. "Saya dan mereka berdamai dengan tubuhnya, mengatur napasnya, menyatu dengan angin dan alam," ujarnya.
Wajah-wajah penonton baru
Sosok-sosok pendaki di Gunung Semeru itu adalah wajah-wajah baru yang menyaksikan pantomimnya. Ia sadar, makin banyak orang baru yang menonton pertunjukan-nya, lebih-lebih orang itu baru pertama kali menonton pantomim secara langsung, maka harapannya untuk mengakrabkan pantomim dengan masyarakat sedikit
terkabul. Dari situ, menurutnya, isu-isu yang dibawakan dalam pantomim kemudian bisa tersam-paikan, dan bisa dipedulikan penontonnya.
Di jalanan Bandung, ia menyia-sati pendekatan pantomim dengan masyarakat ini lewat cara-cara kreatif lainnya. Salah satunya yakni menggelar pantomim rutin untuk Aksi Kamisan dengan menggan-deng Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan. Bersama kawan-kawan barunya di Imajimime dan partisipan lain, gerak tubuhnya bersuara tentang kasus-kasus pelanggaran HAM yang tak kunjung diusut pemerintah.
Vokalnya Wanggi membuat namanya kian dikenal di Bandung dan Indonesia. Hal ini tampaknya yang memantik Pusat Kebudayaan Prancis di Bandung mengajaknya untuk berkolaborasi dengan Chabatz D'Entrar, komunitas sirkus internasional asal Prancis. Dengan mengangkat isu tentang bambu dan lokalitas, mereka tur bersama ke kota-kota di Indonesia, Vietnam, dan Timor Leste.
Para aktor pantomim lainnya pun ia coba ajak untuk bisa bersuara di dunia internasional. Lewat perayaan hari pantomim dunia yang mulai dirayakan sejak 2011 di Bandung, ia berjejaring dengan teman-teman komunitas pantomim di kota-kota lain via Facebook untuk ikut membuat perayaan di daerah masing-masing sambil mengangkat masalah di sana.
Perayaan mereka yang kemudian muncul di kota-kota lain, serentak dengan perayaan di 13 negara lainnya pada 22 Maret, hari lahirnya tokoh pantomim dunia Marcel Marceau. Dari geliat-nya merangkul teman-teman pantomim ini, World Mime Organization (WMO) yang bermarkas di Beograde, Serbia, menunjuk Wanggi sebagai perwakilan Indonesia untuk WMO.
Hidup untuk Pantomim
Nama Wanggi yang cukup dikenal di internet juga meng-undang Syafiq Effendi Faliq, aktor pantomim asal Malaysia untuk berkolaborasi dengannya. Namun anggota The Qum Actor ini kaget ketika menyambangi Wanggi di Bandung dan menyadari Wanggi hidup nomaden. Tidak ada ruang studio untuk berlatih, dan tidur di mana saja ia bisa tidur. Namun
karena sudah bertekad akan sepanggung bersama Wanggi di Bandung, Syafiq pun tetap melanjutkan residensinya.
Wanggi yang menyadari bahwa akan berisiko bila mengajak Syafiq berpantomim di jalanan karena bisa diusir polisi atau kejadian tidak mengenakkan lainnya yang biasa ia rasakan mengajak rekan dari Malaysia itu berlatih tampil di ruang-ruang alternatif seperti taman kota dan kafe.
Ya, bagi Wanggi, jika ia hanya sendiri, ia tak peduli dengan kendala-kendala semacam itu, karena itu kesehariannya. Jika ia 2-3 kali seminggu kini bisa dapat job dari pantomim, dan bisa mengirimi keluarganya di kampung, ia syukuri itu. "Kalau tidak, tidak masalah. Masih akan tetap bisa ngopi dan ngumpul dengan teman layaknya orang normal. Pantomim itu bukan pekerjaan, meski memang terkadang menghasilkan uang. Pantomim itu keseharian saya," katanya.