Seniman Teater Boneka "Ria Papermoon Menularkan Seni Melalui Bahasa Boneka"

Karena tidak punya patron untuk jadi ukuran kesuksesan, Ria dan Papermoon Puppet Theatre bikinannya bisa lebih banyak berkreasi. Mungkin karena itulah nama pelopor teater boneka di Indonesia ini semakin dikenal orang.

Lumrah belaka, sebagai seorang gadis kecil yang baru saja ditinggalkan ayahnya, Tala merasakan kemarahan, kesedihan tak terpen, juga perasaan kesepian yang sangat.

Untuk mengobati perasaan yang tak menentu itu, Tala menuliskan perasaan-perasaannya dalam sebuah perahu kertas, tanpa pernah tabu bagaimana mengirimkannya kepada Puno, ayahnya.

Hingga suatu ketika, ia sadar bahwa ayahnya itu tidak benar-benar pergi. la melindunginya dari bahaya. la memayunginya ketika hujan lebat turun. la menyelamatkannya ketika hendak terjatuh dari tebing. Dan lain sebagainya.

Tala bahkan masih merasakan keberadaan sang ayah di tempat-tempat yang soma bersamanya selama 40 hari setelah kematiannya. Nah, dalam waktu 40 hari itulah Tala berusaha ingin menghabiskan waktunya bersama orang tercintanya itu.

Begitulah sepenggal kisah Puno: Letters to the Sky yang dipentaskan oleh Papermoon Puppet Theater (selanjutnya ditulis Papermoon saja) di Lembaga Indonesia Prancis (LIP) Yogyakarta pada awal Juli lalu.

"Puno ingin menunjukkan kepada para orangtua juga anak-anak mereka bahwa kematian tidak semenakutkan yang kita bayangkan selama ini. Ia adalah bagian dari kehidupan kita sebagai manusia," ujar Maria Tri Sulistyani, direktur artistik Puno sekaligus sosok paling berperan di balik pentas-pentas juga nama Papermoon yang semakin ke sini semakin dikenal orang.
Berkat tangan dinginnya, juga partner setia yang kini jadi suaminya, Iwan Effendi, Papermoon menuai banyak kesuksesan, juga kokoh berdiri hingga tahun ke-12 sejak pertama kali berdiri pada 2006 lalu. Lebih dari itu, Papermoon bisa disebut sebagai pelopor teater boneka pertama di Indonesia kiwari.

Menuruti passion

Pada dasarnya semua ber mula dari kecintaan. Sejakkecil, Ria panggilan akrab Maria Tri Sulistyani mengaku sangat mencintai seni, lebih-lebih seni pertunjukan.

Maka jangan heran, di sela-sela kesibukannya mewujudkan cita-citanya menjadi seorang pekerja media dengan mengambil studi Ilmu Komunikasi di Universitas Gadjah Mada, Ria bergabung dengan sebuah kelompok teater. Selain belajar seni peran dan pertunjukan, di teater ini Maria juga menjalin jejaring dengan banyak seniman.

Meski begitu mencintai seni, ia juga galau. Bagaimana tidak, pilihan untuk menjadi seorang seniman tidak sepopuler dan menjanjikan menjadi seorang CEO, misalnya."Bahkan, tampaknya lebih menjanjikan menjadi kasir Indomaret," celetuknya, sembari terkekeh.

Di tengah ketidakpastian itulah, Ria bersama beberapa rekannya mendirikan Papermoon pada April 2006. Mulanya, Papermoon merupakan nama untuk sanggar anak, dengan seluruh pegiatnya adalah relawan.

Tapi seiring waktu, satu per satu relawan di sanggar anak keluar dan hanya menyisakan dua orang: Ria dan Iwan. Pada 2008, mereka berdua memutuskan memasukkan roh teater boneka ke dalam Papermoon.

Roh baru ini memungkinkan bergabungnya seni rupa dan seni pertunjukan. Bergabungnya teater dan boneka. Bergabungnya puppet dan theatre. Papermoon Puppet Theatre, begitulah kita mengenalnya saat ini.

Hingga saat ini setidaknya sudah lebih dari 20 karya yang berhasil dipentaskan oleh Papermoon— termasuk Puno yang paling ter-akhir. Selain pertunjukan, Paper¬moon juga menghasilkan instalasi seni visual maupun pameran.

Dari serangkaian pertunjukan yang sudah digelar itu, ada benang merah yang bisa kita tarik. Yaitu tentang hal-hal yang jarang sekali dibicarakan dan dianggap tabu. Puno, misalnya. Dalam banyak kasus, kematian bagi anak-anak menjadi sesuatu yang sangat berjarak.

Sering kali kita mendengar seorang ibu sekuat tenaga menyembunyikan, bahkan tidak jarang berbohong, kematian sang ayah, misalnya, dari buah hatinya. Begitu juga sebaliknya.

Padahal, kematian beserta hal-hal yang menyertainya, menurut Ria, adalah bagian dari hidup manusia yang niscaya terjadi. "Kenapa ia mesti ditutup-tutupi?" perempuan berambut bondol itu pun bertanya-tanya.

Begitu juga dalam Secangkir Kopi dari Playa yang pernah nongol sebentar di Ada Apa Dengan Cinta (AADC)2.

Mesti bercerita tentang cinta, Secangkir Kopi dari Playa adalah upaya memunculkan tema besar tentang Peristiwa 1965 yang dampaknya juga besar. Duapasang kekasih yang saling mencintai terpaksa tidak bisa saling memiliki lantaran peristiwa berdarah yang melatari zaman peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru itu.

Bahasa boneka

"Pada dasarnya, tiap cerita punya tema-tema yang terpisah. Tapi setelah saya tengok lagi, ternyata cerita-cerita saya kerap menyinggung sisi manusia yang paling personal yang seringnya tidak kita dibicarakan," tutur perempuan kelahiran 4 November 1981 yang menulis sendiri semua cerita Papermoon itu.

Setiap menulis cerita, Ria tidak ingin pertunjukannya nanti berjarak dengan penonton. Itulah mengapa, selain menulis tema-tema yang sangat personal, perempuan kelahiran Jakarta itu memperkenalkan konsep nirdialog.

Tujuannya, dengan tidak ada-nya dialog, Ria berharap penonton jadi lebih fokus kepada jalan cerita. Lebih bisa menangkap rasa yang disampaikan oleh sebuah pertunjukan. Tapi apakah sekadar itu?
Bagi perempuan bersuara renyah ini, boneka itu tidak berbicara.

Bahasa ibu bagi boneka adalah gestur. Oleh karena itulah ia tidak mau memperbanyak informasi dengan dialog, bisa-bisa penonton malah tidak fokus.

"Dengan tidak ada dialog, orang-orang biasanya akan lebih tenang, lebih fokus, lebih ber-pikir, dan kemudian menangkap dengan lebih cermat apa yang ada dalam pertunjukan," ujar perem¬puan 36 tahun ini, menjelaskan.

Nah soal rasa ini, Ria punya cerita tersendiri. Suatu ketika ia dan Iwan pernah punya pikir-an: kenapa jika kita menonton bioskop sangat gampang mena-ngis, gampang terbawa emosi, tapi tidak ketika menonton pertunjukan?

Dari situ mereka percaya bahwa seni pertunjukan juga bisa menghadirkan sensasi yang sama seperti ketika menonton film di bioskop. Pada 2010, pasangan suami-istri ini memutuskan membuat pertunjukan yang akan membuat para penontonnya tersentuh.

Gar-gara ketularan

Bisa dikatakan, semua pencapaian Ria hingga saat ini berawal autodidak. Meski mencintai seni sejak
kecil, ia tidak punya darah seni dari orangtuanya. Bahkan konon katanya, kecintaannya pada seni kurang direstui orang-orang tercintanya itu.

Tapi sejak datang ke Yogyakarta pada 1999 dan bergumul dengan sekian banyak seniman di Kota Pelajar itu, Ria meyakini satu hal: menjadi seniman itu menular.

Dengan keyakinan itu pulalah Ria mengubur mimpinya bekerja di bidang media dan memantapkan hati menjadi seniman penuh waktu. Penuh waktu artinya ia melakukan ini semua laiknya pekerja kantoran: mulai bekerja di pagi hari, selesai di sore harinya. Akhir pekan libur.

Lebih dari itu, Ria juga meng-gantungkan hidupnya sepenuhnya pada Papermoon. Itulah kenapa ia dan timnya harus selalu membuat karya bagus setiap tahunnya, karena dengan begitu kebutuhan orang-orang di Papermoon yang sebagian besar sudah berkeluarga bisa tercukupi.

Nah, dari mana Ria bisa meng-hasilkan karya-karya bagus se-mentara di awal-awal berdirinya Papermoon belum ada pertunjukan teater boneka yang mapan yang bisa dijadikan rujukan?

Di zaman yang serba internet, sejatinya tidak susah untuk menjawab itu. Asal mau berusaha, kita bisa berguru pada siapa saja. Begitu juga dengan Ria. Ditemani Google sang maha tahu, ia berkenalan dengan bentuk-bentuk pertunjukan boneka di seantero dunia.

Dari internet ia menemukan konsep handpuppet seperti Unyil, juga bunraku dari Jepang.

Meski menolak jika Papermoon disamakan dengan wayang, ia tidak menolak jika disebut berguru pada beberapa dalang yang ada di Yogyakarta.

Ia belajar kepada Mbah Ledjar Subroto seniman wayang kancil, ia belajar kepada Catur "Benyek" Kuncoro sang dalang mletho yang terkenal karena kreativitasnya menggabungkan seni lokal dengan musikftip hop, ia juga belajar pada dalang-dalang lainnya.

Lebih dari itu, kesempatan residensi ke luar negeri juga benar-benar dimanfaatkan Ria untuk melakukan hibernasi dan memantapkan ide-ide. Dari sekian banyak residensi, New York 2009-2010 menjadi yang paling istimewa.

Hingga saat ini, setidaknya Ria dan Papermoon sudah melakukan 11 kali residensi, baik di dalam maupun luar negeri. Residensi pertama berlangsung di Wonju, Korea Selatan, pada April hingga Mei 2009.
Kenapa residensi New York begitu istimewa, karena dari situ perempuan bertubuh mungil ini bertemu dan berkesempatan belajar kepada 70 seniman teater boneka yang berbeda-beda, dari A to Z, dengan beragam gaya dan latar belakang, dari seantero dunia.

Dari mereka Ria menyerap ide-ide baru tentang teater boneka. Lebih dari itu, residensi New York juga memantapkan hatinya untuk sepenuhnya mengabdikan diri pada teater boneka dan "mencari makan" di sana.

Setelah pulang dari Amerika, menurut Ria, Papermoon sangat berbeda dari sebelumnya. Benar-benar berbeda.

Mencari teman lewat Pesta Boneka

Seolah tak puas hanya dengan Papermoon, Ria kemudian membuat Pesta Boneka pada Desember 2008 lalu. Penyelenggaraan pertama bertempat di Taman Budaya Yogyakarta.

Dengan setengah bercanda ia bilang bahwa ini adalah upayanya untuk "mencari teman". Tapi rasanya lebih dari itu. "Selama ini kita harus pergi ke luar negeri untuk menonton pertunjukan teater boneka, tapi bagaimana dengan mereka yang tak bisa ke luar negeri?" tanyanya.

Jaringan pertemanan yang tersebar di dalam dan luar negeri memudahkan Ria Papermoon menyelenggarakan festival yang dihelat dua tahunan tersebut.

Soal jejaring ini, bisa kita lihat dari beberapa peseta Pesta Boneka berikut ini: Carla Ori (Australia), Carla Pedroza (Meksiko), Anne-Sophie Lecourt (Prancis), dan Danielle Poidomani (Australia). Ini di tahun pertama penyelenggaraan, kita belum menengok peserta-peserta di tahun-tahun selanjutnya.
Selain bisa bertemu dengan para seniman boneka beserta boneka-bonekanya yang lucu, dalam Pesta Boneka juga ada pertunjukan teater boneka, pameran, seni instalasi, dan lain sebagainya. Sejak 2008, Pesta Boneka sudah berlangsung sebanyak lima kali.


Nah, pada penyelenggaraan ke-6 nanti (akan diselenggarakan akhir tahun 2018), kabarnya ada lima kelompok teater boneka asal In-donesia yang akan berpartisipasi. Bagi Ria, ini adalah langkuh maju yang patut diapresiasi.

Soal nasib Papermoon ke depannya, Ria mengaku tak muluk-muluk. Ia hanya ingin membuat karya sebagus mungkin, paling tidak setahun dua karya. Dia percaya, dengan pertunjukan yang bagus, penonton akan mengantre membeli tiket Papermoon.

Selain dengan karya bagus, untuk membiayai operasional seperti biaya listrik, Papermoon menjual merchandise. Dari totebag, kaus, dan lain sebagainya.

"Sejak awal kami tidak punya patron, tidak punya tolok ukur kesuksesan. Filosofi kami: 'ya udahjalan saja terus'," ujar Ria, mantap. Dengan filosofi itulah, Papermoon bergerak lebih realistis dan lebih giat untuk mencari ide baru.
Artikel Terkait

Postingan Populer