Akting, Peran Aktor, Sutradara, Penulis Nakah, Proses Produksi, Pendekatan Akting

AKTING 

Akting membutuhkan bakat. Bakat di kamus diartikan sebagai suatu kemampuan yang alamiah dari seseorang yang mempunyai inklinasi-inklinasi yang bersifat spesial dan kreatif. Dalam diri seorang aktor, kemampuan-kemampuan ini adalah sensitivitas yang tinggi dan responsif terhadap penglihatan, bunyi, sentuhan, rasa, dan bau.

Termasuk sensitif terhadap orang lain, mudah tergerak oleh ke-indahan dan penderitaan, serta memiliki imajinasi yang tinggi tetapi tidak lepas kontrol pada realita. Jika seseorang sudah diberkati oleh kemampuan-kemampuan ini, maka hasratnya yang tak tergoyahkan untuk menjadi aktor diiringi oleh keinginan untuk mengekspresikan yang sudah dirasakannya itu, lalu diidentifikasikan sebagai karakter, akan nyata di atas panggung. Walaupun demikian, perlu dicamkan bahwa maksud dari istilah sensitif dan keinginan untuk mengekspresikan diri di sini, jangan disalahartikan dengan niat egois untuk tampil.

Pada dasarnya, seorang aktor adalah seorang seniman yang mengekspresikan dirinya sendiri. Ketika dia mempersiapkan diri untuk tampil dalam sebuah pertunjukan, usaha yang dilakukannya adalah mendefinisikan kembali atau membuat definisi baru. Dia masuk ke dalam sebuah pengalaman hidup, atau realita baru yang berkembang, tetapi lebih peka, dari kehidupannya sendiri. Kemampuan untuk menjadi "orang baru", serta pengertiannya tentang pengalaman yang dijabarkan oleh naskah dan yang disampaikannya dalam pertunjukan, menggerakkan perasaan dan pikiran penonton sehingga mereka mengalami kesamaan suasana jiwa dengan yang dialaminya itu.

Untuk membuatnya mampu mendefinisikan kembali atau membuat definisi baru di atas panggung, si aktor harus melalui tiga fase proses pendidikan akting itu sendiri. Pertama-tama, dia harus meningkatkan kemampuan ekspresinya. Dia harus mampu menggali ke dalam dirinya, ke dalam kehidupan sehari-hari, untuk mencip-takan satu sistem keseimbangan tubuh sehingga mampu meng-ekspresikan reaksi-reaksi yang sangat tinggi dan fleksibel tingkat responnya yang dituntut dalam sebuah pertunjukan. Kedua, dia harus meningkatkan kemampuan menganalisa. 
Dia harus mampu menyelidiki naskah dan membuka kekayaan-kekayaan yang ter-sembunyi di dalamnya, sehingga kreasinya sendiri tentu akan memenuhi tuntutan yang dimaksud oleh naskah. Ketiga, dia harus meningkatkan kemampuan mentransformasi diri. Transformasi adalah kemampuan yang memberi arti dan bentuk kepada kemampuan ekspresi dan analisa, yaitu kemampuan "naluri" untuk mentransformasikan diri memainkan peran dan kemampuan imajinatif menaruh diri sepenuhnya dalam karakter yang fiktif.

Proses meningkatkan kemampuan fisik (ekspresi), intelektual (analisa), dan spiritual (transformasi) inilah yang dituntut dari seorang aktor, yaitu proses memahami dirinya sebagai satu bentuk fisik unik yang terdiri dari ketiga bagian di atas. Kemampuan-kemampuan tersebut saling menyokong dan jika salah satu di anta-ranya tidak ada, yang dua lainnya tidak berguna. Tentu, semua itu tidak dapat dicapai tanpa disiplin, karena tanpa disiplin ketiga hal di atas tidak mungkin dapat dikembangkan. Disiplin dalam konteks ini adalah rasa hormat pada diri, rasa hormat pada teman main, dan rasa hormat pada pekerjaan utama si aktor itu sendiri. Sambil meningkatkan kemampuan fisik, intelektual dan spiritualnya, dia akan melakukan latihan-latihan teknis yang membantu meningkatkan ketrampilannya. Usahanya adalah melakukan semua latihan tersebut dengan dedikasi yang tinggi dan penuh disiplin, karena tanpa disiplin, sensitifitas, kepekaan dan konsentrasi, semua yang ingin dihasilkan tidak akan pernah tercapai.


Masalah keamatiran sudah jelas adalah "momok" yang paling menghambat mengalirnya lava penuh gejolak perteateran di Indo¬nesia. Keamatiran perteateran di Indonesia disebabkan oleh hal yang sangat mendasar yaitu kurikulum pendidikannya. Kurikulum pendidikan teater yang amatir tentu menciptakan teater yang amatir. Sebagai contoh yang paling menonjol dari keamatiran ini adalah program studi akting dan penyutradaraan. Dalam kurikulum nasional program studi akting, mata kuliah yang diajarkan kebanyakan tidak berhubungan dengan akting tetapi dengan "studi teater tentang akting". 

Akhirnya alumni-alumni yang dihasilkan dari kurikulum yang campur aduk seperti ini adalah pakar-pakar debat kusir seni akting dan bukan aktor-aktor yang mampu serta berpengalaman. Ambiguitas Kurikulum Nasional lebih nyata kelemahannya di pro¬gram studi penyutradaraan. Hanya di Indonesia, program studi penyutradaraan diajarkan di jenjang SI. 

Di negara-negara lain, penyutradaraan adalah bidang ilmu yang dianggap sangat tinggi (mungkin karena melihat umur mahasiswa yang masih kurang pengalaman hidupnya) sehingga hanya diajarkan di tingkat S2 dan S3. Di Indonesia, bedanya program studi penyutradaraan dan akting hanya di mata kuliah akting itu sendiri, sementara mata kuliah lainnya sa-ma, tetapi mungkin untuk penyutradaraan lebih banyak porsinya. Selain itu, mahasiswa yang mengambil program studi Penyutradaraan tidak perlu mempelajari akting sama sekali.

Lingkaran setan ini berlanjut ke tingkat yang lebih tinggi, di mana sutradara-sutradara muda yang bclum siap untuk bclajar menjadi sutradara ini sudah dibayang-bayangi dengan pendapat sesepuh-sesepuh mereka. Misalnya, Nano Riantiarno dalam buku Teater Indonesia mengatakan bahwa sutradara teater adalah pemimpin, jenderal. Dia itu pemimpin tunggap atau Teguh Karya yang menyebut sutradara sebagai auteur atau penggagas tunggal. 
Sehingga aktor dan para pekerja lainnya terkadang tak lebih dari sekadar nulis naskah sendiri dan dilanjutkan oleh aktor-aktor yang sudah senior atau yang sudah pensiun. Aktor-aktor senior ini mengambil alih proses produksi tidak hanya sebagai manajer grup tetapi mereka juga menulis kembali naskah-naskah misalnya karya-karya Shakespeare, dan sekaligus menyutradarainya. 

Mereka lebih memberi kebebasan kepada semua pekerja yang ikut ambil bagian dalam pro-duksinya bahkan membebaskan para aktor memakai kostum pilihan mereka sendiri. Penafsiran-penafsiran yang lebih inovatif tentang naskah-naskah klasik dengan produksi yang sangat terintegrasi sering dilakukan oleh para aktor-manajer ini. 

Baru pada tahun 1866, sutradara merangkap manajer pertama, George II, Hertog dari Saxe-Meiningen di Jerman, melakukan revolusionarisasi tentang prinsip-prinsip pengadeganan di teater. Dalam pertunjukan grup milik George II, Hertog dari Saxe-Meiningen ini, tidak ada bintang, malah aktor pemegang peran utama dirotasi dengan aktor pembantu. Adegan keramaian tidak dibloking menurut aktor senior lalu turun ke junior tetapi perhatian diutamakan pada gerak dan tingkah-laku individu, dikoordinasikan menurut tuntutan naskah. 

Selama Teater Indonesia tidak melakukan reformasi total terutama dengan maksud untuk menanamkan pengertian-pengertian yang paling mendasar tentang teater itu sendiri, mengubah sistem pendidikannya menjadi lebih praktis dan terarah, maka ambiguitas itu akan terus berlanjut. Sementara yang akan terus terlantar adalah para aktor, yang sudah dengan susah payah bekerja tetapi masih dianggap boneka.

Selanjutnya, Tommy F. Awuy juga berpcndapat bahwa teater Indonesia tergantung pada ekspresi realitas sehingga teaternya bu-kanlah sebuah pertunjukan berilusivitas tinggi. Dia berpendapat bahwa teater seharusnya mengelak, menolak, bahkan mentransen-densi realita. Hal ini lebih pantas kita aplikasikan ke bidang akting yang sebenarnya dapat menerangkan dunia keaktoran Indonesia itu sendiri.

Pada dasarnya, tujuan dari teater adalah menciptakan ilusi-ilusi, karena memang dunia yang diciptakannya adalah fiktif semata. Teater tergantung pada ekspresi realitasnya karena aktor sebagai manusia yang hidup harus terlebih dulu tergantung pada ekspresi
realita dunia sebelum dia mampu menciptakan ilusi-ilusi yang di-tuntut oleh naskah. Pada bagian Kemampuan Transformasi di buku ini, dijelaskan bahwa aktor adalah keturunan dari dewa Dyonisus, sehingga seyogyanya dia mampu menciptakan ilusivitas yang ter-tinggi. Jika teater Indonesia sekarang ini tidak menunjukkan ilusivitas yang tinggi, hal itu akibat keamatiran tadi, apalagi untuk bidang seni akting. Di Indonesia saat ini, tidak ada satupun proses pendi-dikan akting yang sistematis sehingga dapat menciptakan aktor dengan ekspresi ilusivitas tertinggi seperti diharapkan di atas. Kuri¬kulum pendidikan akting yang campur aduk, isi mata kuliah yang tidak sistematis, serta pendapat sesepuh-sesepuh yang diktator di atas, malah menciptakan teater Indonesia yang ilusivitasnya terlampau tinggi. Tetapi memang itulah teater Indonesia yang ambiguitas.

Penonton datang ke teater bukan untuk melihat "realita" yang total atau "apa adanya". Mereka ingin disuguhkan dengan ilusi, sehingga pencipta-penciptanya harus mampu dengan tulus dan jujur mengalami dunia fiktif tersebut sebelum mampu menyatakannya sebagai sebuah ilusi. Dasar dari pendidikan akting yang diajarkan oleh Konstantin Stanislavsky adalah juga bersifat ilusif tetapi dimulai dengan cara bagaimana menyikapi kehidupan ilusif tersebut dengan tulus dan jujur. Pada tingkat yang lebih tinggi, dia mengajarkan ekspresi-ekspresi fisikal yang ilusivitasnya sangat tinggi. Sayangnya pendekatan ini disalahartikan dan bergeser menjadi teater yang lebih mengutamakan ekspresi-ekspresi fisikal. Dengan demikian, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa dunia teater di Indonesia terutama bidang akting dan penyutradaraan lebih tepat mengalami kemunduran dari pada kcmajuan.

postur tubuh yang cegap dan perawakan yang dicata keindahannya. Sebagian besar dari mereka juga menuntut dirinya dipanggil sebagai seorang aktor bukan "artis" (memang tidak ada istilah lain untuk mereka selain dari "bintang" karena nyata tugas dan fungsi mereka menunjukkan definisi aktor sebenarnya, walaupun yang mereka kerjakan mungkin instan).

Demikian pula perubahan sudah mulai terlihat di dunia teater Indonesia sekarang ini yaitu terkikisnya pengaruh sutradara dalam sebuah proses produksi. Istilah Teater Sutradara yang sering terdengar di tahun 70 dan 80-an tidak lagi terdengar seperti Teater Kecil dengan Arifin C. Noernya, Bengkel Teater dengan Rendranya, Teater Populer dengan Teguh Karyanya, atau Teater Koma dengan Nano Riantiarnonya. Pengganti sutradara sebagai seniman utama di teater adalah aktor-aktor yang bekerja di grup-grup teater di mana tampuk pimpinan dipegang oleh seorang aktor senior yang mengatur pro¬duksi dari segi artistiknya. 

Aktor-aktor ini bekerja sama membangun sebuah produksi dengan penuh semangat dan menciptakan sebuah pementasan yang ensemble di mana cap "konsep" sutradara sudah tidak terlihat melainkan sebuah karya dari hasil kerja sama yang bersifat lebih mengarah kepada eksplorasi. Perubahan ini mungkin juga karena kendala yang dihadapi oleh para sutradara ketika menerangkan konsep pertunjukannya, dimana dia tidak dapat lagi men-dikte, mengajari, bahkan mengkopinya ke dalam diri para aktor mereka karena para aktor yang sudah merasa mampu ini tidak dapat menerima cara-cara seperti ini lagi. 

Selain itu tentunya karena tidak ada eksplorasi bakat-bakat baru di bidang penyutradaraan, atau tidak dilakukannya usaha untuk mempersiapkan sutradara masa depan.

Perubahan terjadi mungkin juga disebabkan oleh sebagian para aktor sendiri yang sudah mulai mengerti bahwa penafsirannya mempunyai implikasi yang patut dipertimbangkan untuk mendukung karya seni yang akan diciptakan. Bahwa pengalaman hidup mereka mempunyai andil yang besar terhadap pengalaman hidup yang disampaikan oleh naskah. Bahwa proses mentransfer (melalui identifikasi) pengalaman hidup pribadi menjadi pengalaman hidup karakter yang dimainkan membuat aktingnya lebih jujur. 
Bahwa dunia fiksi yang diciprakan si penulis naskah menjadi realistis karena pengalaman hidup pribadi yang diaplikasikannya itu. Bahwa dengan mentransfer, si aktor membuktikan saran Constantin Stanislavsky yang mengatakan: "Jangan sampai kau kehilangan dirimu di atas panggung. Bertindaklah selalu berdasarkan pribadimu sebagai seorang seniman. Kau tidak akan pernah bisa melepaskan diri dari dirimu sendiri. Begitu kau kehilangan dirimu di atas panggung, maka kau tidak akan lagi menghayati peranmu dengan sesungguhnya, melainkan akan mulai suatu permainan yang palsu dan berlebih-lebihan"1.

Oleh karena teater adalah seni kerja sama di mana semua unsur seni yang tercakup di dalamnya yaitu penyutradaraan, akting, desain, bahkan penonton bekerja sama dan mempunyai posisi setara dalam menciptakan sebuah karya seni teater di atas panggung. Sudah sepatutnyalah sutradara mengakui bahwa dia tidak dapat bekerja sen¬diri dalam menciptakan karya seni, dan begitu pula sebaliknya aktor tidak dapat menciptakan karya seninya tanpa sutradara dan para penata.

Perubahan yang terlihat ini bukan berarti hilangnya pengaruh sutradara dalam suatu proses produksi, tetapi untuk menunjukan peningkatan kemampuan pekerja seni teater itu sendiri, terutama bidang akting. Peningkatan kemampuan para aktor masih memiliki kcndala dan yang paling menyolok terlihat di bagian kapasitas dan potensi aktor itu sendiri. Pengetahuan dan buku-buku tentang akting masih kurang terutama di bidang icon, teknik, serta aplikasi praktis pendekatan-pendekatan akting yang ada.

Untuk itu, buku ini akan menelusuri segi akting yang semakin lama semakin kompleks, dengan mengetengahkan pendekatan-pen¬dekatan akting terutama yang sifatnya "subtil". Sesuai judul buku ini, tentu saja seorang penulis akan berusaha menulis apa yang dia percaya dengan memberikan fakta-fakta konkrit dari apa yang dipercayainya itu. Penulis lebih setuju yang dimaksud Konstantin Stanislavsky yaitu akting yang menelusuri kehidupan alamiah

Proses kerja sama yang terjadi dalam dunia teater dibagi dalam empat bagian besar di mana semua seniman yang ikut campur di dalamnya mengambil peranan penting dalam menciptakan sebuah produksi yang "ensemble" (harmonis). Pembagian kerja untuk menerapkan konsep sutradara dalam sebuah karya seni tersebut dila-kukan sesuai porsi masing-masing dan selalu sejajar tingkat komandonya. 

Pembagian kerja ini dapat dilihat juga dari proses manifestasi naskah sebuah karya sastra yang murni menuju sebuah karya teater. Naskah yang menjadi petunjuk utama dieksplorasi oleh sutradara yang nantinya akan menjadi konsep produksinya. 

Para aktor dan penata artistik akan melakukan penafsiran dan eksplorasi untuk menentukan pilihan-pilihan mereka menciptakan sebuah peristiwa atas konsep sutradara yang nantinya akan dinikmati oleh penonton dalam sebuah pertunjukan.

Penulis Naskah adalah pencipta konsep pertama yang dinyatakan dalam bentuk sebuah teks naskah. Teks ini berisi visi yaitu pesan yang ingin disampaikan dan given circumstances (istilah yang dinyatakan oleh Stanislavsky yang berarti situasi-situasi yang diberikan oleh si penulis naskah dalam teksnya). Sutradara akan menganalisa teks ini serta menyesuaikannya dengan tradisi-tradisi teater yang sudah ada pada saat naskah tersebut ditulis, dengan dunia di mana naskah tersebut ditulis, dan dengan visi yang ingin disampaikan.
Dari peran yang dimainkan si aktor akan terus menjadi pedoman untuk menciptakan cara-cara menyampaikan keinginan tersebut (pilihan-pilihan), yang didasari oleh konsep sutradara tadi. Semua proses ini berlangsung terus tidak saja sampai pertunjukan itu selesai tetapi sampai produksi ini menjadi bagian dari tradisi teater itu sendiri. 

Diskusi-diskusi untuk mencari penafsiran-penafsiran baru atau tema-tema baru yang mungkin, akan menjadi pedoman untuk produksi-produksi selanjutnya. 

Hal ini akan terus berlangsung pada saat produksi itu sedang dalam proses pembuatan maupun ketika sudah selesai dipertunjukkan. Hal ini membuktikan bahwa peristiwa teater selalu mengacu pada konsep "di sini dan sekarang". Relevansinya pada kehidupan manusia sangat universal dan dapat terus diterapkan sesuai dengan perkembangan zaman. Sejarah yang akan menentukan apakah produksi yang diciptakan menjadi sebuah karya seni yang unggul, hasil dari kerja sama yang "ensemble" antar seniman yang ikut ambil bagian didalamnya.


PERANAN AKTOR DALAM PROSES PRODUKSI


Aktor dan sutradara bekerja sama dalam latihan untuk menciptakan sebuah pengalaman hidup yang fiktif menjadi sebuah realita bagi para penonton. Didasari oleh konsep sutradara, atau apa yang di-inginkan sutradara untuk terjadi di atas panggung atau di depan kamera, aktor mengaplikasikan penafsirannya dengan memakai pengalaman hidup yang dimiliki serta teknik-teknik akting yang sudah dia mengerti. Tentu sebagai seorang aktor, dia patut memiliki pengalaman hidup yang dalam serta wawasan yang luas mengenai kehidupan itu sendiri.

Perkembangan ilmu-ilmu psikologi dan pendekatan-pendekatan akting yang ada saat ini membuat peranan para aktor dalam sebuah produksi semakin kompleks. Sistem-sistem yanng mereka gunakan untuk membuat penonton tertarik pada karakter yang dimainkannya bermacam ragam. Ada yang menggunakan kehidupan emosional pribadinya dengan jujur tetapi tidak melenceng dari tuntutan penulis naskah tentang karakter yang sedang dimainkannya. Ada sebagian aktor menyiapkan dirinya melalui sistem Stanislavsky atau metode akting karya Lee Strasberg. Ada juga yang memberi jarak antara dirinya dengan penonton dengan menggunakan perangkat-perangkat alienasi karya Bertolt Brecht untuk memaksakan respon yang sifatnya kritis, bukan empati, dari para penonton tersebut. Tetapi ada juga sekelompok aktor yang hanya dengan semangat berkumpul, mem-persiapkan sebuah produksi tanpa mengerti semua pendekatan akting yang ada di dunia saat ini.
Walaupun demikian, para aktor masih sulit membuktikan kese-nimanannya. Mereka masih dianggap sebagai manusia-manusia yang hanya menggunakan sifat-sifat intuitifnya saja. Mereka dianggap hanya mampu membuat dirinya terhipnotis tanpa mampu mengingat kembali peristiwa yang dialaminya di atas panggung. Mungkin melalui pendekatan-pendekatan ini, kesenimanan mereka akan diakui dan dengan demikian peranan mereka akan menjadi penting ter-utama jika pendekatan itu memiliki sejarah yang berbentuk teoritis, praktis, dan didasari oleh pengertian yang mendalam.
Tentu pertanyaan esensial yang patut dijawab untuk membuktikan kesenimanan mereka adalah apakah mereka pencipta yang orisinil, atau hanya memberi manusia untuk teks si penulis naskah? Apakah mereka hanya memberi animasi pada konsep sutradara? Apakah yang mereka pelajari patut diselidiki secara objektif? Semua ini harus dijawab untuk dapat menentukan eksistensi para aktor sebagai seniman murni di dunia teater yang proses kerjanya semakin kom-pleks saja. Mungkin pendekatan-pendekatan yang ada dapat dibuat sebagai pedoman untuk menentukan apakah mereka dapat disebut sebagai pencipta orisinil. Kedua, apakah karyanya, dengan memakai medium diri sendiri yang berdiri sendiri kesenimananya, dapat dilihat secara objektif sebagai sebuah karya seni yang kreatif dan imajinatif.

Peran aktor di dunia teater semakin penting sejak seni drama mengalami proses transformasi selama ini. Di zaman Yunani kuno, kemampuan individu terbenam di kerumunan koor yang memenuhi panggung. Tetapi, tahap demi tahap, seni drama mulai menganalisa jiwa manusia, meneliti sifat-sifat asmara, cinta, kebencian, balas dendam, kesedihan dan lainnya. Seni keaktoran berkembang, sehingga semakin kompleks dan tidak mudah dilakukan oleh sembarang orang saja. Profesi keaktoran sekarang menjadi profesi yang khusus, sehingga tugas seorang aktor adalah sulit dan menguras seluruh energi.
Peran tersebut membuat seorang aktor menjadi ujung tombak sebuah pertunjukan. Dia menjadi yang paling dominan, apalagi

PENDEKATAN AKTING

Sejak abad ke 17, ketika pendapat-pendapat tentang keaktoran mulai dicatat dalam buku-buku harian, surat-surat, dan kemudian esai-esai, dua pendekatan akting yang berbeda mulai terlihat yaitu pendekatan akting representasi dan presentasi. Disatu pihak, pen¬didikan seorang aktor akan selesai setelah dia menguasai teknik-teknik akting yang lebih mengutamakan kemampuan luarnya. Setelah itu dia mulai terjun ke atas panggung dan belajar melalui pengalaman atau dengan cara melihat tingkah laku yang dilakukan para aktor lain yang lebih senior, dengan cara mengimitasikan, mengilustrasikan aksi dan reaksi, cara penempatan tawa dan tangis, melakukan simulasi emosi, dan lain-lain (kalau di Indonesia istilah untuk proses ini di-sebut "jam terbang"). Dia juga meminjam tingkah laku yang tepat yang sudah dibuat menjadi "gestur-gestur" yang dibawakan dengan penuh karisma dan suasana teatrikal yang efektif seperti suara ber-dering, teriakan yang membuat penonton merinding, tingkah laku mereka yang menyentuh hati ketika menggambarkan penderitaan dan teror, bahkan gestur-gestur yang mengekspresikan kemegahan. Pendekatan formalisme yang secara umum sudah diterima dan mu-dah untuk dicontoh ini, diturunkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya.

Di pihak lain, terlihat pula beberapa aktor yang lebih suka mengisolasikan diri. Ketika mereka bermain, penonton dibuat ter-pengaruh dan tercengang oleh tingkah laku-tingkah laku mereka di atas panggung yang sangat sederhana dan dikenal dalam kehidupan sehari-hari, seperti mereka tidak memakai semua pendekatan-pen¬dekatan teater umum yang ada pada saat itu. 

Artikel Terkait:

Postingan Populer